12 Hari Jelang Masa Pencoblosan, Uang dan Sembako Ditebar

Jiromedia.com -Dua belas hari menjelang pencoblosan pemilu legislatif dan pemilu presiden, aksi ‘serangan fajar’ berupa bagi-bagi uang dan sembako ditengarai sudah dimulai. Hal ini terlihat dari 400 ribu amplop berisi uang hasil OTT KPK yang digunakan untuk ‘serangan fajar’.  Selain itu,  anggota DPR RI dari Partai NasDem, Akbar Faisal dan Juru Bicara BPN Prabowo Subianto-Sandiaga Uno, Dedi Gumelar pada acara ILC tvOne,  Selasa (2/4/2019) malam, mengakui ‘serangan fajar’ sudah berlangsung.

Pada acara itu, Dedi Gumelar menyatakan, meski sulit membuktikan, dalam konteks pribadi terjadi di lapangan. “Di dapil saya, dimana pun pasti akan terjadi karena kekuasaan," kata dedi yang saat ini menjadi caleg.
Menurutnya, 'serangan fajar' yang dilakukan oleh caleg sama saja sedang melakukan penghinaan terhadap kedaulatan rakyat. "Caleg menyuap rakyatnya, itu kan lagi melakukan penghinaan terhadap kedaulatan rakyatnya itu sendiri," ujar Dedi.
Akbar Faisal malah menyebut di dapilnya aksi ‘serangan fajar’ sudah dilakukan. Ia mengajak masyarakat untuk melawan terhadap aksi para caleg yang ingin mendapatkan suara dengan menyogok rakyat.
"Bagaimana mereka menggerakan ASN, guru-guru diminta untuk menyumbang suara gitu lho ya. Saya berjanji akan menghadapi mereka," tegas Akbar.
Caleg dan Pilpres
Soal bagi-bagi uang ini juga diakui Koordinator Aliansi Lembaga Analisis Kebijakan dan Anggaran (Alaska) Adri Zulpianto. Menurutnya, akibat penegakan hukum pemilu yang lemah, tak heran 12 hari jelang pencoblosan pada 17 April 2019 nanti ada caleg dan tim Pilpres yang bagi-bagi uang dan sembako. Padahal, secara kelembagaan pengawas pemilu, struktur dan fasilitas hukum telah tersedia dari tingkat pusat hingga pelosok daerah.
"Para pengawas pemilu mendapatkan gaji, maka sudah seharusnya, kesadaran penegakan hukum yang menjadi tugas dan fungsi pokok sebagai pengawas pemilu harus dijalankan sesuai dengan aturan perundang-undangan," ujar Adri Zulpianto kepada Harian Terbit, Rabu (3/4/2019).
Adri menilai, lemahnya sistem pengawasan pemilu karena beberapa faktor. Pertama, karena ada rasa takut terhadap para peserta pemilu atau kepada para calon, sehingga pelanggaran-pelanggaran yang terjadi, tidak dapat ditindak lanjuti oleh pengawas pemilu. Kedua, netralitas pengawas pemilu yang bermasalah, sehingga penegakkan hukum menjadi tebang pilih. Ketiga, adanya beleid-beleid hukum dalam UU pemilu yang tidak mampu difahami secara tekstual oleh penyelenggara pemilu.
"Hingga saat ini masih terdapat kerancuan antara beleid satu dengan yang lainnya. Akibatnya, penegakkan hukum pemilu menjadi tidak dapat dipastikan pasal mana yang akan digunakan," jelasnya.
Dia memaparkan, lemahnya penegakan hukum yang diperankan oleh Bawaslu mengakibatkan terjadinya pelanggaran yang diulang-ulang. Akibatnya pelanggaran tersebut menjadi sebuah kebiasaan yang kemudian dianggap lumrah oleh peserta pemilu. Ditambah juga kesadaran politik peserta pemilu yang masih minim, dan lemahnya pendidikan politik di parpol. Sehingga menyebabkan kurangnya etika berpolitik peserta pemilu sebagai aktor utama kontestan di pemilu.
"Adanya pelanggaran tersebut, dapat menjadi bukti bahwa partai politik gagal membangun sistem pendidikan dan kesadaran politik bagi para kadernya atau kepada para calonnya," tandasnya.
Selalu Ada
Dihubungi terpisah, Peneliti Pusat Kajian Anti Korupsi (PUKAT) Fakultas Hukum Universitas Gajah Mada (UGM) Yuris Rezha mengatakan, untuk mewujudkan pemilu yang jujur dan adil maka pihaknya selalu menghimbau caleg-caleg untuk tidak melakukan politik uang. Yang perlu diingat dari politik uang yakni politik uang tidak hanya berupa uang namun juga bisa berupa barang, jasa atau hal lain yang dikecualikan dalam undang-undang.
"Harus diingat, pidana pemilu soal politik uang tidak hanya bisa menjerat caleg yang membagi uang atau barang, tapi menjanjikan uang dan barang kepada pemilih disertai dengan ajakan untuk memilih calon atau partai tertentu juga dapat terkena sanksi politik uang," jelasnya.
Yuris memaparkan, setiap pemilu selalu ada aksi bagi-bagi uang dan sembako karena partai politik telah gagal mengontrol caleg-calegnya. Selama ini parpol kesulitan membentuk sistem pendanaan yang baik dan kurang serius dalam membekali para calegnya untuk menjaga integritas. Bahkan seringkali caleg juga tidak mendapat gagasan atau program yang akan dijalankan partai. Akibatnya dalam berkampanye mereka memilih jalan pintas dengan melakukan politik uang.
Yuris mengungkapkan, untuk mewujudkan agar para caleg bisa berintegritas tidak membutuhkan waktu yang lama. Karena pada dasarnya ketika parpol mau berbenah maka tentu akan meningkatkan kualitas para calegnya juga. Semua itu bisa terwujud dari komitmen masing-masing parpol untuk meninggalkan budaya politik uang dan sembako.
Seperti diwartakan, anggota DPR RI dari Fraksi Partai Golkar, Bowo Sidik Pangarso terjaring dalam OTT KPK, Kamis (28/3/2019). Dalam OTT tersebut, KPK juga berhasil menemukan 84 kardus yang berisi 400 ribu amplop dengan isian uang dalam pecahan Rp 20 ribu dan 50 ribu. Total keseluruhan sekitar Rp 8 miliar.
Kabiro Humas KPK Febri Diansyah mengungkapkan amplop-amplop berisi uang diduga dipersiapkan oleh Bowo untuk "serangan fajar" pada Pemilu 2019. Uang tersebut diduga terkait pencalonan Bowo sebagai anggota DPR RI di Daerah Pemilihan Jawa Tengah II.(ht)
Back To Top