Jiromedia.com - Oleh: Tony Rosyid*
Isu mobilisasi aparat dan aparatur negara masif hadir di media sosial. Berbagai cerita, foto, rekaman dan bahkan video hampir setiap hari beredar. Masyarakat mulai percaya bahwa mobilisasi itu ternyata benar adanya.
Ada pihak-pihak yang menggerakkan ASN, para guru, camat, lurah, bahkan RW dan RT untuk berkampanye memenangkan Paslon tertentu. Mereka tinggal dan bergaul sehari-hari dengan masyarakat pemilih. Karena itu, dengan kekuasaan sosial yang dimiliki, mereka dijadikan ujung tombak untuk mengumpulkan pundi-pundi suara bagi paslon tersebut.
Kekhawatiran akan ada “sandera” dan “paksaan” terhadap aparatur negara itu satu demi satu mulai terbongkar. Pilihannya: ikut kampanye, atau dikasuskan.
Bupati, camat dan lurah pasti khawatir. Siapa yang tak punya salah? Selama masih sebagai manusia, para pejabat itu bisa dicari kelemahan dan kesalahannya.
Fenomena deklarasi sejumlah kepala daerah “diduga” tak sepenuhnya lepas dari situasi yang sarat tekanan dari pihak-pihak tertentu. Demi untuk keamanan dirinya, sejumlah kepala daerah “diduga” terpaksa deklarasi untuk Paslon tertentu. Tidak saja deklarasi, mereka juga memobilisasi aparatur negara di bawahnya untuk memenangkan Paslon tersebut.
Bukannya mereka harus netral? Kepala daerah, termasuk gubernur, bupati dan walikota, itu jabatan politik. Tidak ada kewajiban bagi mereka untuk netral. Tak ada kewajiban pula untuk mendukung Paslon tertentu. Bebas! Hanya saja, netral jauh lebih bijak, karena mereka memimpin rakyat dengan warna dan mazhab politik yang beragam. Dalam posisi netral, para kepala daerah ini bisa mengayomi seluruh warganya. Juga bisa menengahi jika ada konflik dan perselisihan diantara warganya.
Sementara camat dan sebagian lurah itu ASN. Mesti netral, dan gak boleh ikut kampanye. Termasuk juga aparat keamanan. Apa yang pernah diungkapkan Feri Mursidan Baldan bahwa lawan BPN bukan TKN, tapi aparat kepolisian. Ucapan mantan menteri agraria ini sepertinya bukan omong kosong. Tentu ini sangat menghawatirkan. Tidak saja menodai demokrasi, tapi rawan konflik.
Sebuah artikel yang ditulis atas nama Kacung Madjuhri, seorang wartawan Madura, jadi viral. Dalam tulisan itu diceritakan: semua klebun (lurah) di Madura dikumpulkan untuk ikut ambil bagian dalam kampanye Paslon. Jika ini benar, tentu sangat ironi bagi demokrasi kita. Mereka mestinya bekerja untuk rakyat, bukan untuk Paslon. Ini jelas akan merusak dan menodai proses pemilu.
Dalam tulisan itu disampaikan bahwa para lurah ini, meskipun ditekan, mereka tak akan patuh. Mereka lebih takut dicarok rakyatnya dari pada dipenjara karena tak mau ikut kampanye. Mereka lebih takut pada ancaman rakyatnya sendiri, dari pada ancaman pihak lain.
Jengah dengan ulah dan tingkah polah politik “menekan dan menakuti-nakuti” dari kubu Paslon tertentu, rakyat mulai berani terang-terangan melawan. Kasus Madura adalah bentuk nyata dari perlawanan rakyat. Ini bisa jadi “trigger” atau pemicu bagi perlawanan seluruh rakyat di tempat-tempat yang lain yang mengalami penekanan yang sama. Rakyat yang selama ini diam dengan ulah RT, RW dan lurahnya, bisa marah dan melawan ketika mereka sudah tak tahan lagi.
Sebaliknya, jika para lurah mendapat dukungan dari rakyatnya, mereka akan berani berbalik melawan atasannya. “Lebih baik dipenjara dari pada dicarok (dimusuhi) rakyatnya sendiri”.
Kasus Madura menunjukkan pertama, rakyat sudah mulai muak dengan ulah dari kubu salah satu Paslon. Kedua, rakyat mulai berani melakukan perlawanan demi menjaga pilpres yang jujur dan adil. Memilih berdasarkan nuraninya. Ketiga, kasus Madura akan menjadi awal dari gelombang peralawanan rakyat di seluruh Indonesia terhadap para lurah, camat dan bupati. Jika ini tak dihentikan, maka para pejabat itu akan kehilangan legitimasi moral dan sosial di mata rakyatnya sendiri. Ini akan jadi bumerang buat kinerja dan karir mereka di masa depan.
Kasus Madura seperti memberi pesan: Lawan lurah jika mereka melanggar aturan dalam kampanye dengan bagi-bagi sembako, atau bahkan melakukan penekanan kepada rakyat. Dan dukung para lurah untuk melawan atasan yang menekan mereka. Di tangan rakyat kedaulatan bangsa ini dijaga. Dan di tangan rakyat pula demokrasi ditegakkan. Rakyat punya kekuatan jika bersatu.
Mereka mesti sadar bahwa rakyat sudah cerdas. Tahu mana Paslon yang layak dipilih oleh mereka. Itu hak demokrasi yang dijamin undang-undang. Jangan dinodai dengan money politics dan intimidasi. Diam bukan berarti setuju. Bahkan terima sembako dan uang bukan berarti mereka ikut arahan RT, RW dan lurah. Sama sekali tidak. Itu justru menjadi bentuk perlawanan halus mereka. “Terima uang dan sembakonya, tapi jangan coblos paslonnya”. Sebuah perlawanan yang mematikan.
Kabar bahwa ada seorang kades di Mojokerto yang dipenjara dua bulan, enam guru honorer di Banten yang dipecat, dan 53 penyuluh honorer DKI yang “terancam diberhentikan” gara-gara tak satu pilihan adalah tumbal demokrasi yang tak seharusnya ada lagi. Mesti dihentikan jika kita ingin pemilu 2019 ini tidak cacat. Bersih dan bisa dipertanggungjawabkan.
Tapi, jika rakyat ditekan, dan terus ditekan, maka watak dan sikap rakyat Madura akan menular ke seluruh rakyat di seluruh wilayah di Indonesia. Mereka akan lebih berani melawan secara terang-terangan. Dan sudah waktunya rakyat harus melawan terhadap semua tindakan politik yang mengancam dan berpotensi merusak proses demokrasi kita.
Jakarta, 23/3/2019
*) Penulis adalah Pengamat Politik dan Pemerhati Bangsa