Rilis 200 Penceramah, Fadli Zon : Kemenag Tidak Bijak

Jiromedia.com - Keputusan Kementerian Agama (Kemenag) merilis 200 nama penceramah atau mubaligh dinilai sebagai tindakan yang tidak bijak.
Menurut Wakil Ketua DPR RI Fadli Zon, daftar semacam itu dikhawatirkan hanya akan menguatkan segregasi (pemisahan kelompok ras atau etnis secara paksa) yang ada di tengah masyarakat.
“Di tengah pluralitas pemahaman dan keyakinan keagamaan yang ada di tengah masyarakat muslim Indonesia, Kementerian Agama mestinya bisa menjadi moderator yang bijak,” ujar Fadli melalui keterangan tertulisnya, Minggu.
Mengeluarkan daftar 200 nama penceramah yang direkomendasikan dari 200 juta populasi penduduk muslim bukanlah sebuah kebijakan yang mudah diterima. Kebijakan semacam itu cacat secara metodik.
“Jangankan untuk level Indonesia, di Jakarta saja, yang memiliki ribuan masjid, mushola, dan majlis taklim, ada ribuan ustad dan mubaligh di sana. Katakanlah jumlah mubaligh atau ulama itu sekitar 5 persen dari populasi muslim yang 200 juta, maka jumlahnya ada sekitar 10 juta orang. Bagaimana bisa Kemenag mengeluarkan rilis 200 nama dari 10 juta orang tadi? Bagaimana menyaringnya?!”
Makanya, ujar dia, jangan salahkan jika kemudian publik mencurigai rilis daftar penceramah itu sebagai bagian dari sensor terhadap para penceramah atau ulama yang tak sehaluan dengan pemerintah. Apalagi dalam daftar itu tidak tercantum sejumlah nama mubaligh terkemuka yang dikenal kritis terhadap pemerintah. Kebijakan semacam ini hanya akan kian mengeraskan segregasi yang ada di tengah masyarakat saja.
“Jika pemerintah ingin membidik penceramah yang menyusupkan paham-paham radikalisme atau intoleransi dalam ceramahnya, mestinya yang bersangkutan dibidik saja langsung menggunakan perangkat hukum yang berlaku. Tetapi, jerat hukum semacam itupun mestinya juga menjadi pilihan terakhir yang diambil oleh pemerintah. Pilihan pertama mestinya tetap pada bagaimana merangkul dan membangun dialog.”
Jangan sampai muncul kesan bahwa semua pihak yang berseberangan dengan pemerintah kemudian dianggap sebagai radikal dan intoleran. Framing semacam itu berbahaya, karena akan memperuncing konflik, dan bukannya membangun dialog, rekonsiliasi dan saling pengertian.
“Kita saat ini sedang berdiri di ambang krisis ekonomi. Semua celah yang bisa memicu terjadinya konflik sebaiknya segera kita tutup, dan bukannya malah kita eksploitasi.”
Lebih lanjut, Fadli meminta Kemenag menjalin konunikasi dengan lembaga terkait seperti Majelis Ulama Indonesia (MUI), punya Dewan Masjid Indonesia (DMI), dan sejumlah organisasi yang bisa dimintai tolong untuk membendung diseminasi paham-paham radikal dan intoleran di tengah ummat.
“Urusan-urusan semacam ini sebaiknya didialogkan kepada lembaga-lembaga itu saja, karena Kemenag bagaimanapun harus bisa berdiri di atas semua golongan dan kepentingan. Jangan sampai Kemenag terjebak pada kepentingan politik jangka pendek pemerintah,” tutupnya. (telusur)
Back To Top