Yes Muslim - Siti walidah atau Nyai Ahmad Dahlan lahir di Kauman pada 1872 M. Beliau merupakan anak keempat dari tujuh bersaudara. Ayahnya adalah Muhammad Fadil, kiyai penghulu di keratin yang kemudian menekuni profesi sebagai saudagar batik.
Siti Walidah kecil, sebagaimana rata-rata anak di Kauman mendapatkan fasilitas pendidikan agama yang dibimbing oleh orang tuanya juga para ulama yang berada di langgar-langgar Kauman. Siti Walidah dikenal sebagai sosok pembelajar. Kemampuannya berdakwah dia asah sejak kecil yang mendorongnya mendapat kepercayaan dari sang ayah untuk membantu mengajar di langgar yang biasa disebut Langgar Kyai Fadhil.
Terima Kasih sudah membaca, Jika artikel ini bermanfaat, Yuk bagikan ke orang terdekatmu. Berbagi informasi bermanfaat juga termasuk amal loh .... Sekaligus LIKE fanspage kami juga untuk mengetahui informasi menarik lainnya @Tahukah.Anda.NewsSiti Walidah kecil, sebagaimana rata-rata anak di Kauman mendapatkan fasilitas pendidikan agama yang dibimbing oleh orang tuanya juga para ulama yang berada di langgar-langgar Kauman. Siti Walidah dikenal sebagai sosok pembelajar. Kemampuannya berdakwah dia asah sejak kecil yang mendorongnya mendapat kepercayaan dari sang ayah untuk membantu mengajar di langgar yang biasa disebut Langgar Kyai Fadhil.
Pada 1889 Siti Walidah dinikahkan dengan Muhammad Darwis nama kecil Kyai Ahmad Dahlan. Pernikahan tersebut merupakan pernikahan sistem family yang kala itu banyak terjadi di Kauman.
Ahmad Dahlan sendiri adalah saudara sepupu Siti Walidah. Setelah Ahmad Dahlan mendirikan Muhammadiyah pada tahun 1912, Ahmad Dahlan yang juga memberi perhatian khusus pada kemajuan kaum perempuan mendorong berdirinya ‘Aisyiyah. Siti Walidah merintis gerakan ini dengan memulai pendidikan (pengajian) bagi kaum perempuan di Kauman. Kegiatan ini diisi dengan cursus Al-qur’an yang diperuntukkan gadis-gadis di Kauman yang masuk sekolah netral.
Surat Al-ma’un menjadi surat pertama yang kerap diajarkan pada pengajian ini. Diajarkannya surat ini pada kegiatan cursus bukan tanpa alasan, Siti Walidah dan Ahmad Dahlan mengasah kepekaan muridnya untuk peka pada fenomena kemiskinan yang hampir marak dikalangan Umat Islam.
Pengajian ini semakin lama semakin berkembang merambah sampai Lempuyangan, Karangkajen, dan Pakualaman. Karena pengajian dilakukan setelah Ashar, kegiatan ini kemudian dikenal dengan Wal ‘Ashri. Pengajian juga diperuntukkan bagi para buruh batik di Kauman yang merupakan kelompok terpinggir yang sulit mengakses pendidikan. Disamping belajar tentang agama, forum pengajian juga mengajarkan mereka cara menulis dan membaca. Pengajian ini dinamakan sebagai Maghribi School sesuai dengan jam diadakannya pengajian yaitu setelah magrib.
Wal ‘Ashri, Maghribi School, dan Sapa Tresna menjadi cikal bakal pergerakan Muhammadiyah-‘Aisyiyah dalam memperjuangkan kesetaraan bagi setiap kelompok manusia tanpa pandang kasta atau status sosialnya. Lama kelamaan, pengajian ini menyebar sampai ke pelosok Indonesia yang kemudian mendorong berdirinya perwakilan organisasi ‘Aisyiyah.
Pada 1972, Siti Walidah bahkan melakukan kunjungan ke Batur Jawa, Tengah dengan menunggangi kuda melewati pegunungan Dieng. Fakta ini menunjukkan ketokohan Siti Walidah dalam perkembangan organisasi ‘Aisyiyah. Siti Walidah menjabat sebagai president HB Muhammadiyah bagian ‘Aisyiyah dari tahun 1921 yang kemudian berpindah status sebagai adviseur (penasehat) ‘Aisyiyah sejak tahun 1927.
Semasa aktif di ‘Aisyiyah, Siti Walidah dikenal sebagai tokoh perempuan yang memiliki pergaulan luas dan terlibat di ranah publik. Beliau bahkan pernah diundang dalam sidang Ulama Solo yang bertempat di Serambi Masjid Besar Keraton Surakarta yang notabene pesertanya adalah kaum laki-laki. Beliau juga berpidato dihadapan kongres pada kongres ‘Aisyiyah ke-15 yang berlangsung di Surabaya pada tahun 1926. Kongres ini kemudian diwartakan di beberapa harian Surabaya seperti Pewarta Surabaya dan Sin Tit Po yang memprovokasi kaum isteri Tionghoa agar berkemajuan seperti yang dipraktekkan warga ‘Aisyiyah. Kiprahnya di ‘Aisyiyah terus berlangsung puluhan tahun berikutnya. Terakhir kali beliau mengikuti kongres pada 1940 yang kala itu diadakan di Yogykarta. Beliau tetap mengikuti walau dalam keadaan sakit.
Tidak sampai setahun setelah beliau menyampaikan wasiat, tepatnya 31 Mei 1946 wafat menyusul suaminya. Pemerintah member gelar Pahlawan Nasional pada perempuan yang lebih dikenal dengan Nyai Ahmad Dahlan semasa hidupnya ini. Jasanya dalam melahirkan generasi perempuan untuk terlibat di ranah publik menjadi keteladanan yang tidak akan pernah lekang oleh waktu.
Alhamdulillah, sekarang ‘Aisyiyah semakin berkembang menjadi organisasi perempuan yang terus mencerdaskan bangsa. Amal usaha dari TK, Panti Asuhan, SD, Sekolah Tinggi dan Universitas terus tumbuh subur. Semoga akan lahir lagi Siti Walidah muda dari Sabang sampai Merauke. [opinibangsa.id / spc]
ADA BERITA MENARIK !
SCROLL KE BAWAH !